Sore hari yang
nampak cerah, sepasang kakek nenek sedang asyik bercengkrama duduk di atas
kursi di depan rumah mereka. Wajah-wajah yang tak lagi muda itu nampak
bersemangat menghantar kepergian sore. Burung-burung yang singgah di dahan
pohon ikut menyaksikan keakraban mereka. Mereka layaknya sepasang kekasih atau
suami istri yang baru menikah.
“Kau mau ku buatkan kopi Kek?” Tanya
nenek itu pada suaminya dengan nada yang lembut.
“Aku mau teh saja. Sore begini akan
lebih nikmat jika minum teh bersamamu.” Kakek menjawab dengan nada sedikit
gombal. Nenek hanya tersenyum dan tersipu malu sembari bangkit dari
duduknya menuju ke arah dapur.
Badan yang berjalan tak bisa lagi
berdiri tegap seperti waktu muda dulu. Wanita tua itu perlahan tapi pasti
mengayuhkan kakinya menyusuri lantai rumah mereka. Tak lama ia pun kembali
membawa 2 cangkir teh hangat untuk dirinya dan suaminya.
“Ini tehnya Kek.” Secangkir teh di
suguhkan untuk sang kakek.
“Terima kasih. Kau masih cekatan
dalam membuat secangkir teh.”
“Tentu. Karena aku seorang wanita.
Walaupun sudah tua, aku tak akan lupa cara membuat teh yang cepat dan nikmat.”
“Kau memang bidadariku. Halimah, Kau
tau? Tidak terasa usia kita telah setua
ini.”
“Iya. Wajahmu tak setampan yang
dulu. Janggut rintik-rintikmu kini telah putih. Hihihi.”
“Dan kulitmu tak sekencang yang
dulu.” Sang Kakek membalas ledekan Nenek. “Tapi Halimah. Bukan itu yang selalu
ku ingat. Bukan soal janggut ataupun kuli. Tapi perjuangan cinta kita hingga
saat ini.”
Nenek menarik nafas dalam-dalam
sebelum mulai berbicara lagi.
“Kau ingat pertama kali kita
bertemu?”
“Tentu Halimah, Karena di situlah
awal berseminya cintaku. Jujur aku baru merasakan jatuh cinta kala itu dan itu
bersamamu. Ku lihat seorang akhwat yang sangat cantik berjilbab pink dengan
masker yang menutupi wajahmu. Saat itu acara tarhib Ramadhan. Kau dengan bangga
melambai-lambaikan bendera LDF kampusmu. Dan saat itu pula, aku tahu bahwa kau
berasal dari kampus FKIP. Aku ingin lebih mengenalmu. Tanpa kau ketahui
Halimah, aku telah mengumpulkan banyak info tentangmu. Aku tahu saat itu kau
seorang mahasiswi semester akhir.”
“Benar. Acara berpuluh-puluh tahun
yang lalu. Aku sering melihatmu di beberapa event. Tapi aku tidak pernah tau
siapa namamu kala itu. Aku pun tidak berani bertanya kepada yang lainnya. Waktu
aku melambai-lambaikan bendera, aku tahu kau lewat bersama Ikhwan yang lainnya
mengenakan baju koko berwarna putih. Kalian mengendarai sepeda motor.”
“Ku kira, harapanku akan musnah
Halimah. Lama aku memendam rasa itu dan mencari tau bagaimana caranya agar aku
bisa bersatu denganmu dalam ikatan pernikahan. Kala itu, aku belum mapan. Aku
memang sudah lulus kuliah. Tapi, aku bekerja untuk membantu ekonomi keluargaku.
Jadi, aku terpaksa harus menunda pernikahan. Saat kelulusanmu tiba, aku
kehilangan jejakmu.”
“Iya. Usai kelulusan, aku di kirim
ke pelosok desa untuk mengabdikan diriku
di sana. Kurang lebih satu tahun, aku kembali lagi ke Samarinda.”
“Aku benar-benar kehilangan jejakmu
Halimah. Saat ekonomi keluargaku sudah membaik, Ibuku menyuruhku untuk segera
menikah. Aku mencoba menghapuskan harapanku tentang dirimu. Berbulan-bulan aku
ke sana-ke mari menawarkan diri ke pada teman atau ustadz agar bisa
mencarikanku seorang istri. Aku selalu berdo’a agar Allah memberikanku seorang
wanita yang sholeha. Di hati kecilku aku masih berharap agar aku bisa berjodoh
denganmu.”
Nenek memperhatikan bait-demi bait
ucapan Kakek dengan seksama. Sesekali ia usap air matanya yang mulai
berjatuhan.
“Hingga aku hampir putus asa
Halimah. Kau tau Ikhsan. Dia menyuruhku untuk mendatangi Ustadz Mahmud. Aku
menceritakan keinginanku untuk segera menikah padanya. Beliau mangut-mangut dan
tersenyum mendengar semua ucapanku. Beliau akhirnya membuka mulut memberikan
jawaban atas celotehanku sebelumnya. Beliau bertanya tentang kehidupanku dan
keluargaku. Akhirnya beliau bertanya tentang kriteria yang aku inginkan. Namun
aku menjawab. Tidak ada yang ku inginkan selain wanita sholeha. Akhirnya Ustadz
Mahmud menawarkan seorang Akhwat untukku. Dia menjelaskan panjang lebar tentang
akhwat itu. Aku mendengarkannya dengan saksama. Akhir dari percakapan kami, dia
menyodorkanku foto Akhwat yang ia maksud. Aku mengambilnya namun tak ku lihat
di hadapannya. Aku menyetujui usulan Ustadz itu.
Sampai di
rumah, aku memberi tahu keluargaku tentang berita ini. Ibu sangat senang ketika
melihat fotonya. Padahal aku sendiri belum melihat foto yang ku bawa itu.Satu
bulan adalah waktu yang telah di persiapkan untuk melaksanakan pernikahan. Tiba
di hari yang di nanti, aku duduk di depan penghulu. Pernikahannya di laksanakan
di rumah ustadz Mahmud. Usai melaksanakan ijab Qobul, aku di suruh Ustadz
Mahmud menjemput istriku di kamar. Dan betapa kagetnya aku Hallimah ketika ku
tahu bahwa akhwat cantik yang di puji-puji Ibu itu adalah Kau.”
“Saat Ijab Qobul Kau tak sadari
bahwa kau telah menyebut nama Halimah?”
“Ya, karena terlalu bersemangat
hingga namamu pun tak ku sadari.”
“Jodoh itu rahasia Allah. Walaupun
kita tak lagi muda, tapi cinta kita akan tetap bersemi hingga menutup mata.”
“Kau tetap bidadariku Halimah. Yang
sudah melahirkan 5 mujahid para pembela agama Allah.”
“Mereka mengikuti jejakmu dulu.”
Nenek itu tersenyum bahagia. Secangkir teh di hadapan masing-masing telah habis
di seduh. Kakek mengenggam tangan nenek dengan genggaman yang penuh dengan rasa
cinta.
“Andai aku tidak duduk di kursi roda
ini, pasti aku masih bisa untuk menggendongmu.”
“Walaupun begitu aku tidak akan mau
kau gendong. Aku takut tulangmu akan patah bersama cintamu. Hahahah”
Sepasang kakek nenek itu akhirnya
mengakhiri pembicaraan mereka dengan canda tawa. Rasa bahagia itu akan selalu
ada walaupun waktu telah menelan sebagian usia mereka.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar