Sabtu, 18 April 2015

Romantisme di Sore Hari



                Sore hari yang nampak cerah, sepasang kakek nenek sedang asyik bercengkrama duduk di atas kursi di depan rumah mereka. Wajah-wajah yang tak lagi muda itu nampak bersemangat menghantar kepergian sore. Burung-burung yang singgah di dahan pohon ikut menyaksikan keakraban mereka. Mereka layaknya sepasang kekasih atau suami istri yang baru menikah.
            “Kau mau ku buatkan kopi Kek?” Tanya nenek itu pada suaminya dengan nada yang lembut.
            “Aku mau teh saja. Sore begini akan lebih nikmat jika minum teh bersamamu.” Kakek menjawab dengan nada sedikit gombal. Nenek hanya tersenyum dan tersipu malu sembari bangkit dari duduknya  menuju ke arah dapur.
            Badan yang berjalan tak bisa lagi berdiri tegap seperti waktu muda dulu. Wanita tua itu perlahan tapi pasti mengayuhkan kakinya menyusuri lantai rumah mereka. Tak lama ia pun kembali membawa 2 cangkir teh hangat untuk dirinya dan suaminya.
            “Ini tehnya Kek.” Secangkir teh di suguhkan untuk sang kakek.
            “Terima kasih. Kau masih cekatan dalam membuat secangkir teh.”
            “Tentu. Karena aku seorang wanita. Walaupun sudah tua, aku tak akan lupa cara membuat teh yang cepat dan nikmat.”
            “Kau memang bidadariku. Halimah, Kau tau?  Tidak terasa usia kita telah setua ini.”
            “Iya. Wajahmu tak setampan yang dulu. Janggut rintik-rintikmu kini telah putih. Hihihi.”
            “Dan kulitmu tak sekencang yang dulu.” Sang Kakek membalas ledekan Nenek. “Tapi Halimah. Bukan itu yang selalu ku ingat. Bukan soal janggut ataupun kuli. Tapi perjuangan cinta kita hingga saat  ini.”
            Nenek menarik nafas dalam-dalam sebelum mulai berbicara lagi.
            “Kau ingat pertama kali kita bertemu?”
            “Tentu Halimah, Karena di situlah awal berseminya cintaku. Jujur aku baru merasakan jatuh cinta kala itu dan itu bersamamu. Ku lihat seorang akhwat yang sangat cantik berjilbab pink dengan masker yang menutupi wajahmu. Saat itu acara tarhib Ramadhan. Kau dengan bangga melambai-lambaikan bendera LDF kampusmu. Dan saat itu pula, aku tahu bahwa kau berasal dari kampus FKIP. Aku ingin lebih mengenalmu. Tanpa kau ketahui Halimah, aku telah mengumpulkan banyak info tentangmu. Aku tahu saat itu kau seorang mahasiswi semester akhir.”
            “Benar. Acara berpuluh-puluh tahun yang lalu. Aku sering melihatmu di beberapa event. Tapi aku tidak pernah tau siapa namamu kala itu. Aku pun tidak berani bertanya kepada yang lainnya. Waktu aku melambai-lambaikan bendera, aku tahu kau lewat bersama Ikhwan yang lainnya mengenakan baju koko berwarna putih. Kalian mengendarai sepeda motor.”
            “Ku kira, harapanku akan musnah Halimah. Lama aku memendam rasa itu dan mencari tau bagaimana caranya agar aku bisa bersatu denganmu dalam ikatan pernikahan. Kala itu, aku belum mapan. Aku memang sudah lulus kuliah. Tapi, aku bekerja untuk membantu ekonomi keluargaku. Jadi, aku terpaksa harus menunda pernikahan. Saat kelulusanmu tiba, aku kehilangan jejakmu.”
            “Iya. Usai kelulusan, aku di kirim ke  pelosok desa untuk mengabdikan diriku di sana. Kurang lebih satu tahun, aku kembali lagi ke Samarinda.”
            “Aku benar-benar kehilangan jejakmu Halimah. Saat ekonomi keluargaku sudah membaik, Ibuku menyuruhku untuk segera menikah. Aku mencoba menghapuskan harapanku tentang dirimu. Berbulan-bulan aku ke sana-ke mari menawarkan diri ke pada teman atau ustadz agar bisa mencarikanku seorang istri. Aku selalu berdo’a agar Allah memberikanku seorang wanita yang sholeha. Di hati kecilku aku masih berharap agar aku bisa berjodoh denganmu.”
            Nenek memperhatikan bait-demi bait ucapan Kakek dengan seksama. Sesekali ia usap air matanya yang mulai berjatuhan.
            “Hingga aku hampir putus asa Halimah. Kau tau Ikhsan. Dia menyuruhku untuk mendatangi Ustadz Mahmud. Aku menceritakan keinginanku untuk segera menikah padanya. Beliau mangut-mangut dan tersenyum mendengar semua ucapanku. Beliau akhirnya membuka mulut memberikan jawaban atas celotehanku sebelumnya. Beliau bertanya tentang kehidupanku dan keluargaku. Akhirnya beliau bertanya tentang kriteria yang aku inginkan. Namun aku menjawab. Tidak ada yang ku inginkan selain wanita sholeha. Akhirnya Ustadz Mahmud menawarkan seorang Akhwat untukku. Dia menjelaskan panjang lebar tentang akhwat itu. Aku mendengarkannya dengan saksama. Akhir dari percakapan kami, dia menyodorkanku foto Akhwat yang ia maksud. Aku mengambilnya namun tak ku lihat di hadapannya. Aku menyetujui usulan Ustadz itu.
Sampai di rumah, aku memberi tahu keluargaku tentang berita ini. Ibu sangat senang ketika melihat fotonya. Padahal aku sendiri belum melihat foto yang ku bawa itu.Satu bulan adalah waktu yang telah di persiapkan untuk melaksanakan pernikahan. Tiba di hari yang di nanti, aku duduk di depan penghulu. Pernikahannya di laksanakan di rumah ustadz Mahmud. Usai melaksanakan ijab Qobul, aku di suruh Ustadz Mahmud menjemput istriku di kamar. Dan betapa kagetnya aku Hallimah ketika ku tahu bahwa akhwat cantik yang di puji-puji Ibu itu adalah Kau.”
            “Saat Ijab Qobul Kau tak sadari bahwa kau telah menyebut nama Halimah?”
            “Ya, karena terlalu bersemangat hingga namamu pun tak ku sadari.”
            “Jodoh itu rahasia Allah. Walaupun kita tak lagi muda, tapi cinta kita akan tetap bersemi  hingga menutup mata.”
            “Kau tetap bidadariku Halimah. Yang sudah melahirkan 5 mujahid para pembela agama Allah.”
            “Mereka mengikuti jejakmu dulu.” Nenek itu tersenyum bahagia. Secangkir teh di hadapan masing-masing telah habis di seduh. Kakek mengenggam tangan nenek dengan genggaman yang penuh dengan rasa cinta.
            “Andai aku tidak duduk di kursi roda ini, pasti aku masih bisa untuk menggendongmu.”
            “Walaupun begitu aku tidak akan mau kau gendong. Aku takut tulangmu akan patah bersama cintamu. Hahahah”
            Sepasang kakek nenek itu akhirnya mengakhiri pembicaraan mereka dengan canda tawa. Rasa bahagia itu akan selalu ada walaupun waktu telah menelan sebagian usia mereka.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar