Senin, 27 April 2015

Cinta Lama Bersemi Kembali

Hari demi hari Laili lewati  dengan  terus menunggu  Prayoga hingga akhirnya dia bertemu dengan seorang wanita yang baik hati. Wanita itu adalah Diana pemilik butik yang letaknya tak jauh dari pohon palem tempat Laili menunggu Prayoga.
“Maaf,sedang apa kamu disini nak? Nampaknya kamu sedang menunggu seseorang.” Sapa wanita itu dengan penuh senyum manis di wajahnya.
Wajah Laili yang kusam tak terawat itu kaget bukan kepalang. Dia baru sadar bahwa Diana ternyata sudah lama mengetahui keadaannya yang selalu duduk di bawah pohom palem.
“Sa...saya” Laili menjawab gugup.
“Jangan takut. Siapa namamu?” Diana mengulurkan tangannya kepada gadis kusam di depannya itu.
          Laili hanya mampu menggelengkan kepalanya dan menatap wajah Diana dengan tatapan yang kosong. Laili memang sudah tidak waras lagi. Untuk mengingat namanya saja dia tidak bisa.
          “Apakah kamu punya keluarga disini?” Lagi-lagi Laili hanya menggelengkan kepalanya.
          “Kalau kamu tidak punya keluarga disini,lebih baik ikut saya pulang ke rumah.” Bujuk Diana.
          Diana memang wanita yang baik dan suka membantu orang-orang yang membutuhkan bantuannya. Apalagi dengan melihat keadaan Laili dia merasa berdosa jika membiarkan gadis itu terus menunggu sesuatu yang tak kunjung datang. Laili yang lugu itu mengangguk saja ketika Diana membujuknya untuk ikut bersamanya.
          “Ini rumah saya. Saya tinggal hanya berdua dengan suami. Saya harap kamu mau dan akan betah tinggal disini.”
          “Heeheee tinggal disini ya.” Jawab Laili sambil nyegir dengan menggaruk-garuk kepalanya yang ditumbuhi rambut-rambut tak terawat.
          “Anggap saja saya dan suami adalah orang tuamu.” Wajah polos dan kusam itu hanya mengangguk-anggukkan kepalanya.
          “Kamu mandi dulu ya sayang. Habis mandi ganti bajunya ya. Pilih saja baju yang kamu suka di dalam lemari itu.” Menunjuk kearah lemari kaca yang dipenuhi gaun-gaun cantik.
oOo
          “Mas, aku mau ngomong sama kamu.”
          “Iyea ada apa.”
          “Mas tadi aku bertemu dengan gadis ya umurnya kira-kira 22 tahun. Setiap hari aku sering melihatnya duduk di bawah pohon palem yang dekat Butik kita itu lo Mas.  Aku kasihan sama dia jadi aku membawanya kemari. Apa Mas tidak keberatan?”
          “Apa kamu yakin sayang. Apakah dia sebatang kara di Jakarta”
          “Sepertinya begitu. Kasihan dia Mas. Dia sepertinya mengalami gangguan jiwa.”
          “Ya kalau memang dia sebatang kara aku setuju saja kalau dia tinggal bersama kita. Nanti biar aku bawa dia ketempat praktik aku sayang. Biar disana dia bisa menjalankan terapi pengobatan jiwa.”
          “Makasih ya Mas atas pengertiannya. Tapi Mas dia tidak ingat namanya siapa. Sebaiknya biar kita yang memberinya nama.”
          “Beri saja dia nama Sukma.”

          Diana dan suaminya begitu prihatin dengan keadaan Laili. Hingga mereka bertekad untuk memasukkan Laili kerumah pengobatan Jiwa yang kebetulan Bram suami Diana sendiri pemiliknya sekaligus yang akan menghipnoterapi Laili. Laili menjalankan terapi itu kurang lebih 6 tahun. Disana Laili tidak hanya melakukan terapi namun juga ada siraman rohani setiap akhir pekan agar jiwa para pasien kembali bersih dari berbagai gangguan jiwa yang selalu menghantui kehidupan mereka termasuk Laili.
          Hari demi hari terlewati hingga akhirnya Laili benar-benar di nyatakan sembuh total dari gangguan jiwa yang di alaminya cukup lama itu. Bram dan Diana begitu antusias menyambut kedatangan anak angkatnya itu.
          “Bagaimana keadaan mu Sayang.” Sapa wanita itu dengan lembut.
          “Alhamdulillah sekarang saya sudah baikan.”
          Penampilannya jauh berbeda dari sebelumnya. Dia bukanlah lagi Laili yang dulu. Laili yang kusam dan gila. Namun sekarang dia adalah gadis yang sangat cantik di tambah busana muslimah yang dia kenakan. Sekarang Laili benar-benar merubah penampilannya 180 derajat.
          “Ayah, Ibu, makasih atas kebaikannya selama ini. Karna kebaikan hati kalianlah saya bisa sembuh dari gangguan jiwa itu.”
          “Kami ikhlas dengan semua ini sayang. Kamu sudah kami anggap sebagai anak sendiri. Jadilah anak yang baik dan lupakan saja masa lalumu yang suram itu. Masa lalu hanya akan membuat hidupmu hampa jika kamu tidak berusaha untuk melupakannya.” Ucap Diana dengan bijaksana.
          “Ya sekarang saya sadar bahwa selama ini saya terlalu berharap pada cinta Prayoga yang jelas-jelas telah memilih gadis lain yang lebih sepandan untuk bersanding bersamanya.”
          Semenjak menjalani perawatan Laili memang sudah banyak berubah dan menyadari bahwa cintanya pada Prayoga hanyalah cinta yang semu.
          Malam yang indah dengan taburan bintang di langit. Namun tak seindah perasaan Laili yang sekarang telah berubah namanya menjadi Sukma semenjak dia tinggal dengan keluarga barunya. Dia lebih senang merenung di pinggir kolam dari pada menyambut tamu-tamunya. Padahal di rumahnya sedang di adakan acara syukuran atas kesembuhannya. Sukma masih termenung dalam lamunannya. Dia teringat kembali peristiwa beberapa waktu silam di mana benih-benih cintanya tumbuh bersama Prayoga.
oOo
          “Permisi nona bolehkah saya bertanya.” Seorang lelaki muda dan tampan berbicara dari dalam mobil BMW yang mendarat di sampingnya. Tepat di bawah pohon Palem di mana Gadis itu berdiri.
          “Iyea. Apa yang bisa saya lakukan?” Gadis itu menoleh lalu terdiam kaku melihat lelaki tampan sedang berbicara kepadanya.
          “Saya mau tau Toko Sepatu Andira itu dimana ya? Dari tadi saya keliling-keliling daerah sini tapi enggak ketemu juga. Kata teman saya ada disekitar sini.”
          Gadis yang berasal dari Desa itu tersenyum geli.
          “Kenapa kamu tersenyum? Apa kamu juga tidak tau?”
          “Apa Mas ini yakin Toko itu ada di daerah sini. Setau saya Toko Sepatu Andira itu letaknya di Jl. Tunas Bangsa. Kalau ini namanya Jl. Bunga Bangsa. Jadi Mas salah alamat. Kalau dari sini Mas jalan lurus nanti ada pertigaan belok aja kekiri. Lalu lurus lagi nah nanti akan ketemu kok Tokonya.”
          “Wah saya jadi malu ni ternyata salah alamat. Hehe.”
          “Ah tidak apa-apa. Itu hal yang biasa kok.” Gadis itu menebar senyuman polosnya.
          “Terima kasih atas bantuannya. Ini kartu nama saya. Jika kamu minta bantuan hubungi saja saya oke. Kalau boleh bertemu lagi, lain kali saya akan kesini lagi tapi bukan untuk bertanya jalan melainkan untuk bertemu kamu.”
          “Ya boleh saja..”
          Begitulah pertemuan pertama mereka yang terkesan lucu dan singkat. Namun saat itu Lalili sudah merasa ada getaran di dalam dadanya. Dia merasakan jatuh cinta pada pandang pertamanya. Rasa itu semakin menjadi-jadi ketika mereka sering bertemu di tempat yang sama dan saling mengungkapkan perasaan hingga akhirnya Prayoga mengucap janji yang sangat mendalam pada Laili.
          “Sudah banyak aku menemukan gadis-gadis di Jakarta tapi baru kali ini aku menemukan gadis yang sopan serta sederhana sepertimu. Laili percayalah bahwa aku mencintaimu.”
          “Jangan menaruh harapan yang lebih pada gadis desa seperti saya. Kita ini berbeda. Kamu adalah orang kaya. Orang berdasi dan mempunyai rumah bagai istana. Sementara aku hanyalah gadis desa yang miskin. Aku tidak pantas mendapatkan cintamu.”
          “Cinta tidak mengenal status sosial.”
          “Ya itu menurutmu. Tapi bagaimana dengan orang tuamu. Mereka tidak mungkin bisa menerima kehadiranku dalam kehidupanmu.”
          “Laili aku mohon percayalah. Aku mencintaimu dengan segenap ragaku. Orang tuanku pasti bisa menerima kehadiranmu. Laili aku akan menikahimu sepulang aku dari Bandung nanti. Aku saat ini harus mengurus perusahaan Ayah di sana. Tapi aku berjanji akan meminangmu setelah aku pulang nanti di tempat dimana kita pertama kali bertemu.”
          “Berapa lama aku harus menunggumu.”
          “Aku pastikan dalam waktu 3 bulan kita akan bertemu lagi disini. Laili ingatlah janjiku ini. Aku mencintaimu.”
          Semua tutur kata yang diucapkan Prayoga telah tersimpan dalam memorinya. Dia benar-benar yakin bahwa Prayoga akan menikahinya. Prayoga memang pria yang baik. Namun sayang sepulang dari Bandung ketika Prayoga meminta izin untuk menikahi Laili, Ayahnya menentang dengan keras dan sama sekali tidak menyetujui itu semua. Akhirnya Prayoga tidak bisa menepati janjinya. Namun Lailli tidak mengetahui ini semua sehingga dia tetap menunggu kedatangan Prayoga yang akan menikahinya sesuai dengan janjinya beberapa waktu yang lalu. Prayoga tidak bisa menentang Ayahnya karna dia tidak ingin menjadi anak yang durhaka. Namun dia juga tidak sempat memberitahu Laili bahwa dia tak bisa menepati janjinya. Sungguh jika Laili mengetahui ini semua, dia akan merasa sangat kecewa. Namun sekarang Laili bahkan tidak mengetahui itu dan tetap menunggu Prayoga setiap hari di bawah pohon Palem hingga jiwanya terguncang.
oOo
          “Selamat ya Diana atas kesembuhan putrimu.” Sapa seorang lelaki pada Diana yang berdiri di samping suaminya sembari mengucapkan selamat.
          “Oh,ya Pak Salman. Terima kasih sudah mau datang jauh-jauh kesini. Bukankah sekarang Pak Salman sekeluarga sudah pindah ke Bandung? Tapi masih sempat mampir ke Jakarta buat menghadiri acara syukuran ini.”
          “Ya tentu saja. Lagi pula sekalian silaturahmi dan saya juga pengen ketemu dengan putri angkatmu itu. Pasti dia Gadis yang cantik dan sopan santun sepertimu. Oyea dimana dia?
          “Dia ada di halaman belakang. Saya dan Mas Bram sangat senang Sukma mau tinggal di sini dan bersedia menjadi anak angkat kami.”
          “Apakah dia Gadis yang baik? Maaf maksud saya apakah dia bisa menyesuaikan diri dengan kehidupan kalian?”
          “Ya tentu saja. Walaupun dulu dia terlihat sangat kumal dan tidak tata tertib, tapi sekarang dia sudah bisa menyesuaikan diri bahkan tidak sulit untuknya.”
          “Diana boleh kah saya dan Yoga bertemu dengannya?”
          “Boleh saja. Tapi malam ini sepertinya dia tidak ingin di ganggu. Tapi jika memang ingin melihatnya silakan  saja ke halaman belakang.”
          “Wah jadi tidak enak saya jadinya. Padahal saya ingin sekali melihatnya. Siapa tau bisa menarik hati saya untuk di jadikan menantu. Hehe.”
          “Ah Pak Salman ini bisa saja. Ya kalau memang mereka cocok dan saling suka ya kenapa tidak. Hanya saja sekarang Sukma belum memikirkan tentang lelaki. Mungkin trauma yang dalam hidupnya. Bagaiman kalau Nak Yoga saja yang kesana biar Ayah mu ngobrol-ngobrol dulu sama saya.”
          “Yoga ayo kesana. Hibur Sukma. Siapa tau kalian bisa saling akrab.”
          “Tapi saya...” Prayoga mencoba mengelaknya namun tidak bisa.
          “Ayolah Nak Yoga.”Tambah Bram yang juga membujuk Yoga untuk menemui Sukma.
          Dengan hati yang terpaksa, Yoga pun menemui Sukma. Namun mustahil bagi Yoga untuk bisa menyukai Sukma meskipun Sukma itu cantik bagai bidadari karna di hatinya masih mencintai sosok Gadis desa yang beberapa waktu lalu di kenalnya. Yoga mencoba menyapa Sukma yang duduk memblakanginya di depan kolam ikan.
          “Maaf, Apakah kamu Sukma?”
          “Iyea. Siapa kamu dan mau apa?” Jawabnya tanpa memandang kebelakang.
          “Saya.... Pra,”
          Belum sempat Prayoga menyebutkan namanya namun Sukma langsung pergi meninggalkannya tanpa melihat dulu ke arah pria yang berdiri di belakangnya.
          “Tunggu...Kenapa kamu pergi.”
          “Tolong jangan ganggu saya. Siapapun kamu.” Teriak Sukma sambil berlari menjauhi Prayoga.
          “Tunggu Sukma. Kenapa kamu menjauh. Saya hanya ingin berkenalan dengan mu apa itu salah.”
          Sukma terus berlari tanpa menghiraukan apa yang di ucapkan Prayoga. Dia mencari tempat yang nyaman untuk menyendiri selain di kolam ikan. Andai saja dia tau bahwa pria itu adalah Prayoga pasti dia akan sangat bahagia. Namun sayang keduanya tidak sempat bertatap muka. Mungkin di lain waktu Tuhan akan mempertemukan mereka kembali dengan suasana yang lebih indah.

          Pak Salman, Ayah Prayoga sangat penasaran dengan Sukma. Menurut Diana dan Bram, Sukma adalah gadis yang pandai meski pendidikannya rendah. Dia baik, sopan santun dan lemah lembut. Pak Salman makin yakin bahwa Sukma adalah perempuan yang pas untuk anaknya Prayoga. Meski pendidikannya rendah, tetapi dia adalah anak orang kaya walaupun anak angkat dan sepandan dengan mereka. Dia bertekad untuk menjodohkan Prayoga dengan Sukma. Dia yakin Prayoga akan menyukai gadis itu dan bisa melupakan bayangan Laili yang dulu pernah ada. Diana dan Bram tidak keberatan dengan usul itu. Karna itu bukanlah hal yang buruk. Jika Sukma suka maka mereka akan setuju-setuju saja. Dan mereka juga mengetahui bahwa Prayoga adalah pria yang baik dan bertanggung jawab. Kedua orangtua itu bersepakat ingin mempertemukan Sukma dan Prayoga secepat mungkin agar keduanya bisa saling mengenal.
oOo
          “Yoga, Ayah mau menikah.” Ucap laki-laki berkumis itu dengan suara datar.
          “Dengan siapa Ayah. Saya tidak bisa menikah selain dengan Laili.”
          “Cukup Yoga !!! Buat apa kamu mengingat-ingat dia lagi. Lupakanlah gadis kampung itu. Buka matamu lebar-lebar. Sukma jauh lebih baik dari pada Laili. Sukma mempunyai masa depan yang cerah karna dia hidup dengan keluarga yang terpandang. Dia juga gadis yang cerdas. Kamu akan menyesal jika menolak perjodohan ini.”
          “Terserahlah.”
          Prayoga hanya bisa pasrah dengan Sukma yang tidak ingin mengecewakan hati orang-orang yang sudah baik kepadanya selama ini.
oOo
          Hari pertemuan itu telah tiba. Kedua keluarga ini sedang asik berbincang-bincang. Mereka sangat banhagia apa lagi jika bisa jadi besanan. Namun tidak untuk Prayoga dan Sukma. Yoga hanya diam terpaku di atas kursi dan tenggelam di antara suara-suara yang menjengkelkan baginya. Sementara Sukma merenung menatap indahnya bunga-bunga di taman belakang.
          “Nak Yoga, coba kamu temui Sukma di taman belakang.”
          “Baik Tante.”
          Suasana malam yang sepi dan sunyi mewakili perasaan keduanya yang tidak pernah menginginkan perjodohan ini. Semilir angin yang berhembus juga membawa perasaan mereka untuk merelakan semua ini. Prayoga menghampiri Sukma yang duduk di taman belakang. Prayoga belum berani bertatap muka dengan gadis itu sehinngga dia hanya berbicara dari belakang dan begitu pun sebaliknya.
          “Maaf Sukma. Bolehkah saya bertanya?”
          “sIlakan. Tanyakan apa saja yang ingin kamu tanyakan terhadap saya.”
          “Kenapa kamu menerima perjodohan ini. Bukankah kamu punya hak untuk menolaknnya. Lagi pula banyak pria yang jauh lebih baik dari saya.”
          “Kenapa kamu juga tidak menolaknya. Bukankah kamu juga punya hak sebagai seorang anak. Kamu pikir saya senang dengan semua ini. Jika bisa ditolak maka akan saya tolak. Tapi semua itu tidak mungkin saya lakukan karna saya tidak ingin mengecewakan orang tua angkat saya.”
          “Saya tidak bisa menolak keinginan Ayah. Ayah mempunyai penyakit jantung. Jika saya menolaknnya bisa saja tiba-tiba terjadi padanya. Tapi apa kamu tidak memikirkan bagaimana sebuah hubungan rumah tangga akan terjalin dengan baik jika di antara kita tidak adanya rasa cinta.”
          “Demi kebahagiaan mereka, saya rela dan ikhlas. Saya yakin kita pasti bisa menjalaninya jika kita ikhlas menerimanya. Buat apa mencintai seseorang tapi jika kita tidak bisa memilikinya bahkan cinta hanya akan membuat kehidupan menjadi hancur.”Airmata mulai berjatuhan di pipi lembutnya.
          “Apa maksudmu? Tapi dengan mencintai kita akan lebih nyaman menjalani semua ini.”
          “Jika kamu berpikir seperti itu apakah kamu bisa mencintaiku? Tidakkan. Cinta hanyalah sebuah luka. Cinta pernah merubah jiwa saya menjadi gila dan melupakan semuanya. Saya benci cinta. Saya yakin akan bahagia walau tidak dengan mencinta.”
          “Tapi saya tidak bisa. Saya hanya mencintai seseorang yang dulu pernah mengisi kehidupan saya. Mungkin kamu bisa menjalani ini semua tapi saya tidak.”
          “Kenapa kamu terima perjodohan ini jika kamu hanya ingin  menikah dengan wanita itu.”
          “Percuma Sukma. Orang tua saya tidak pernah menyetujui hubungan kami hingga aku harus meninggalkannya pergi. Entah bagaimana keadaannya sekarang dan saya juga tidak tau di mana dia sekarang.”
          Ada getaran yang dasyat di hati Sukma ketika laki-laki di belakangnya itu mengatakan hal yang pernah di alaminya dulu. Sukma terdiam dan menutup matanya lalu perlahan butiran bening itu turun di wajah cantiknya.
          “Andai saya bisa bertemu dia lagi. Saya ingin meminta maaf padanya. Saya juga ingin dia tau bahwa saya selalu mencintainya. Tak peduli dengan restu oranng tua. Saya akan selalu mencinntainya.”
          “Jika hatimu tidak bisa menerima perjodohan ini, maka pergilah. Carilah wanita itu. Kita batalkan saja ini semua..hikssshikss.”
          Sukma mencoba untuk pergi namun Prayoga menarik tangannya. Dan saat itulah mereka saling memandang. Mata Sukma terus mengalirkan bululiran bening itu. Dia terdiam dan lkidahnya terasa sangat keluh. Apakah yang di hadapannya ini benar-benar Prayoga yang telah membuatnya gila dulu atau Cuma seseorang yang mirip dan ditakdirkan Tuhan untuk bertemu dengannya. Apakah semua ini takdir? Apakah semua ini hanya kebetulan? Batinnya. Begitupan dengan Yoga yang diam membisu. Setelah beberapa menit senyap tanpa kata, Yoga mulai mengeluarkan suaranya uang terdengar kaku.
          “Sukma....Wajahmu. Wajahmu mirip kekasihku dulu. Kau mengingatkan aku dengan Laili gadis yang sangat aku cintai.” Prayoga mencoba mengusap air mata Sukma.” Sukma katakan padaku apa kamu benar-benar seorang Sukma.  Kau begitu mirip dengannya. Kenapa kamu menangis.”
          “Kamu Prayoga? Lihatlah aku. Apa benar kamu Prayoga? Apa benar kamu masih mencintai Aku. Aku ini Laili  Ga.” Sukma menumpahkan semua air matanya.
          “Benarkah kamu Laili. Kamu sungguh telah berubah..”
          “Ya saya berubah semenjak kamu pergi hingga akhirnya saya bertemu dengan Bu Diana. Menunggu cintamu adalah suatu kebodohan yang membuatku gila.”
          “Maafkanlah diri ini Laili. Saya tidak pernah melupakanmu. Ini semua hanya keadaan yang memaksaku untuk pergi.”
          “Jika kamu masih mencintaiku tolong jangan tinggalkan aku lagi Yoga.”
          “Hapuslah air matamu. Menikahlah denganku. Orang tuaku pasti akan menyetujui kita Laili.”

          Begitu kuat ikatan cinta mereka hingga Tuhan benar-benar mempersatukan mereka kembali.


Sabtu, 18 April 2015

Romantisme di Sore Hari



                Sore hari yang nampak cerah, sepasang kakek nenek sedang asyik bercengkrama duduk di atas kursi di depan rumah mereka. Wajah-wajah yang tak lagi muda itu nampak bersemangat menghantar kepergian sore. Burung-burung yang singgah di dahan pohon ikut menyaksikan keakraban mereka. Mereka layaknya sepasang kekasih atau suami istri yang baru menikah.
            “Kau mau ku buatkan kopi Kek?” Tanya nenek itu pada suaminya dengan nada yang lembut.
            “Aku mau teh saja. Sore begini akan lebih nikmat jika minum teh bersamamu.” Kakek menjawab dengan nada sedikit gombal. Nenek hanya tersenyum dan tersipu malu sembari bangkit dari duduknya  menuju ke arah dapur.
            Badan yang berjalan tak bisa lagi berdiri tegap seperti waktu muda dulu. Wanita tua itu perlahan tapi pasti mengayuhkan kakinya menyusuri lantai rumah mereka. Tak lama ia pun kembali membawa 2 cangkir teh hangat untuk dirinya dan suaminya.
            “Ini tehnya Kek.” Secangkir teh di suguhkan untuk sang kakek.
            “Terima kasih. Kau masih cekatan dalam membuat secangkir teh.”
            “Tentu. Karena aku seorang wanita. Walaupun sudah tua, aku tak akan lupa cara membuat teh yang cepat dan nikmat.”
            “Kau memang bidadariku. Halimah, Kau tau?  Tidak terasa usia kita telah setua ini.”
            “Iya. Wajahmu tak setampan yang dulu. Janggut rintik-rintikmu kini telah putih. Hihihi.”
            “Dan kulitmu tak sekencang yang dulu.” Sang Kakek membalas ledekan Nenek. “Tapi Halimah. Bukan itu yang selalu ku ingat. Bukan soal janggut ataupun kuli. Tapi perjuangan cinta kita hingga saat  ini.”
            Nenek menarik nafas dalam-dalam sebelum mulai berbicara lagi.
            “Kau ingat pertama kali kita bertemu?”
            “Tentu Halimah, Karena di situlah awal berseminya cintaku. Jujur aku baru merasakan jatuh cinta kala itu dan itu bersamamu. Ku lihat seorang akhwat yang sangat cantik berjilbab pink dengan masker yang menutupi wajahmu. Saat itu acara tarhib Ramadhan. Kau dengan bangga melambai-lambaikan bendera LDF kampusmu. Dan saat itu pula, aku tahu bahwa kau berasal dari kampus FKIP. Aku ingin lebih mengenalmu. Tanpa kau ketahui Halimah, aku telah mengumpulkan banyak info tentangmu. Aku tahu saat itu kau seorang mahasiswi semester akhir.”
            “Benar. Acara berpuluh-puluh tahun yang lalu. Aku sering melihatmu di beberapa event. Tapi aku tidak pernah tau siapa namamu kala itu. Aku pun tidak berani bertanya kepada yang lainnya. Waktu aku melambai-lambaikan bendera, aku tahu kau lewat bersama Ikhwan yang lainnya mengenakan baju koko berwarna putih. Kalian mengendarai sepeda motor.”
            “Ku kira, harapanku akan musnah Halimah. Lama aku memendam rasa itu dan mencari tau bagaimana caranya agar aku bisa bersatu denganmu dalam ikatan pernikahan. Kala itu, aku belum mapan. Aku memang sudah lulus kuliah. Tapi, aku bekerja untuk membantu ekonomi keluargaku. Jadi, aku terpaksa harus menunda pernikahan. Saat kelulusanmu tiba, aku kehilangan jejakmu.”
            “Iya. Usai kelulusan, aku di kirim ke  pelosok desa untuk mengabdikan diriku di sana. Kurang lebih satu tahun, aku kembali lagi ke Samarinda.”
            “Aku benar-benar kehilangan jejakmu Halimah. Saat ekonomi keluargaku sudah membaik, Ibuku menyuruhku untuk segera menikah. Aku mencoba menghapuskan harapanku tentang dirimu. Berbulan-bulan aku ke sana-ke mari menawarkan diri ke pada teman atau ustadz agar bisa mencarikanku seorang istri. Aku selalu berdo’a agar Allah memberikanku seorang wanita yang sholeha. Di hati kecilku aku masih berharap agar aku bisa berjodoh denganmu.”
            Nenek memperhatikan bait-demi bait ucapan Kakek dengan seksama. Sesekali ia usap air matanya yang mulai berjatuhan.
            “Hingga aku hampir putus asa Halimah. Kau tau Ikhsan. Dia menyuruhku untuk mendatangi Ustadz Mahmud. Aku menceritakan keinginanku untuk segera menikah padanya. Beliau mangut-mangut dan tersenyum mendengar semua ucapanku. Beliau akhirnya membuka mulut memberikan jawaban atas celotehanku sebelumnya. Beliau bertanya tentang kehidupanku dan keluargaku. Akhirnya beliau bertanya tentang kriteria yang aku inginkan. Namun aku menjawab. Tidak ada yang ku inginkan selain wanita sholeha. Akhirnya Ustadz Mahmud menawarkan seorang Akhwat untukku. Dia menjelaskan panjang lebar tentang akhwat itu. Aku mendengarkannya dengan saksama. Akhir dari percakapan kami, dia menyodorkanku foto Akhwat yang ia maksud. Aku mengambilnya namun tak ku lihat di hadapannya. Aku menyetujui usulan Ustadz itu.
Sampai di rumah, aku memberi tahu keluargaku tentang berita ini. Ibu sangat senang ketika melihat fotonya. Padahal aku sendiri belum melihat foto yang ku bawa itu.Satu bulan adalah waktu yang telah di persiapkan untuk melaksanakan pernikahan. Tiba di hari yang di nanti, aku duduk di depan penghulu. Pernikahannya di laksanakan di rumah ustadz Mahmud. Usai melaksanakan ijab Qobul, aku di suruh Ustadz Mahmud menjemput istriku di kamar. Dan betapa kagetnya aku Hallimah ketika ku tahu bahwa akhwat cantik yang di puji-puji Ibu itu adalah Kau.”
            “Saat Ijab Qobul Kau tak sadari bahwa kau telah menyebut nama Halimah?”
            “Ya, karena terlalu bersemangat hingga namamu pun tak ku sadari.”
            “Jodoh itu rahasia Allah. Walaupun kita tak lagi muda, tapi cinta kita akan tetap bersemi  hingga menutup mata.”
            “Kau tetap bidadariku Halimah. Yang sudah melahirkan 5 mujahid para pembela agama Allah.”
            “Mereka mengikuti jejakmu dulu.” Nenek itu tersenyum bahagia. Secangkir teh di hadapan masing-masing telah habis di seduh. Kakek mengenggam tangan nenek dengan genggaman yang penuh dengan rasa cinta.
            “Andai aku tidak duduk di kursi roda ini, pasti aku masih bisa untuk menggendongmu.”
            “Walaupun begitu aku tidak akan mau kau gendong. Aku takut tulangmu akan patah bersama cintamu. Hahahah”
            Sepasang kakek nenek itu akhirnya mengakhiri pembicaraan mereka dengan canda tawa. Rasa bahagia itu akan selalu ada walaupun waktu telah menelan sebagian usia mereka.


Siapa DIa



Setiap hari aku selalu melihatnya di lingkungan kampus. Kalau dilihat dari tampilannya, jelas dia bukanlah seorang mahasiswa sastra di Fakultas Ilmu Budaya. Laki-laki dengan kulit hitam mengkilat, kukunya panjang dan selalu membawa buntalan kain di sampingnya. Terkadang, aku ingin sekali menyapanya. Namun, ada setetes rasa takut yang jatuh dari langit-langit hatiku. Terbanyang-bayang jika tiba-tiba dia marah karena merasa terganggu dan langsung menerkamku bagai harimau yang kelaparan. Tapi, ternyata aku salah. Sekarang, aku berani katakan bahwa dia bukanlah orang gila.
Suatu hari, aku mencoba mendatanginya yang sedang duduk termangu di pinggiran kampus. Dia tersenyum padaku dan tidak ada tingkah laku aneh yang menunjukkan dia itu gila. Melihat keadaannya, aku jadi iba. Teringat jika yang sedang duduk termangu itu adalah Ayah ku. Sungguh tidak tega rasanya melihat keadaannya yang begitu memprihatinkan.  Sepertinya, laki-laki itu terlantar di Samarinda. Dia tidak mempunyai rumah untuk berteduh. Sanak saudarapun sepertinya tidak ada. Hanya teras kampus lah tempatnya melepas segalampenat dan kesedihan.
Aku tau bahwa kampus bukanlah tempat untuk persinggahan orang-orang yang terlantar. Namun, selama dia tidak mengganggu aktivitas belajar mahasiswa, bagiku itu tak mengapa jika dia menumpang “istirahat” di pinggiran kampus. Hanya saja, setiap mahasiswa Faklutas lain yang datang ke FIB, mereka selalu bertanya-tanya . ”Siapa Dia?” Ada yang bersikap biasa saja. Ada juga yang menunjukkan sikap tidak sukanya.
Namun, seiring berjalannya waktu. Semua orang menjadi terbiasa dengan kehadirannya. Ada juga yang mencoba mengajaknya untuk berbincang-bincang. Ada rasa haru ketika wajah yang tampak kumal itu menoreh seutas senyum kecil. Wajah yang selalu muram itu akhirnya tersenyum. Seperti menemukan kehidupannya yang baru. Senyum indah yang bisa mengubah awan hitam menjadi putih, mengubah badai menjadi pelangi dan mengubah debu menjadi salju.
Di akhir Februari, tak kutemukan wajah itu lagi. Tak ada lagi awan putih yang bergantungan, pelangi yang menghias langit dan salju-salju yang beberapa waktu lalu menghias kampusku. Ke mana perginya semua  itu? Ke manakah perginya ia? Laki-laki misterius yang tak pernah ku tau siapa namanya. Tak pernah pula ku tau dari mana asalnya. Dan aku pun tak tau alasannya mengapa ia beberapa waktu lalu berada di kampusku.  Kepergiannya memberikan berjuta tanda tanya di akhir Februari...