Kamis, 16 Januari 2014


Sebatas Bunga Tidur
Andini masih berkutat di meja belajarnya. Dia tidak sabar menunggu hari esok untuk pergi berlibur ke rumah nenek bersama kak Dimas, ayah dan bunda. Nenek telah berjanji kepadanya, kalau liburan kali ini Andini berkunjung ke Bandung, nenek akan mengajaknya jalan-jalan ke Kebun teh bahkan ikut memanen daun teh bersama teh Rini dan teh Ina. Tentu saja Andini sangat gembira mendapat ajakan seperti itu. Andini benar-benar tidak sabar menunggu esok hari.
Jam sudah menunjukkan pukul 10.00 malam namun mata Andini masih enggan untuk terlelap. Tangannya yang mungil masih sibuk memberikan coretan halus pada selembar kertas berukuran A4. Andini mencoba meluapkan rasa senangnya lewat tulisan walaupun hanya dia yang tahu apa sebetulnya yang dia tulis.
Pagi ini cuaca sangat bersahabat dengan mereka. Langit nampak cerah dan kabut-kabut masih menempel pada dedaunan. Burung-burung bernyanyi riang. Andini sudah siap dengan tas ranselnya berwarna ungu muda. Ayah masih memanaskan mobil, kak Dimas sedang sibuk mengangkut barang-barang yang akan dibawa ke rumah nenek, sedangkan bunda sibuk di dapur menyiapkan sarapan.
Aromanya tercium dari kamar Andini sehingga membuatnya melangkan kaki menuju dapur. Andini langsung menghampiri meja makan dan menyambar roti bakar yang dibuat bunda. Rambutnya yang ikal gelombang bergantung lucu. Bunda hanya tersenyum melihat rambut putri kesayangnya itu.
“Sayang, habis sarapan rambutnya bunda ikat ya.”
Andini mengangguk tanda setuju. Kini meja makan tidak hanya ada Andini namun juga ada ayah dan kak Dimas.
Semua telah sarapan dan siap untuk berangkat ke Bandung. Ayah sudah siap mengendalikan mobilnya dengan gaya sesantai mungkin. Begitu pula dengan kak Dimas siap dengan ransel hitamnya dan penampilan ala BoyBand Korea. Kini saatnya Andini dan bunda untuk keluar menunjukkan penampilan mereka. Bunda terlihat cantik dan sangat santai memakai gamis biru muda yang di padukan dengan kerudung pink. Andini tak kalah heboh. Tangan mungilnya memegang rambut yang baru saja dikepang dua oleh bunda dan dia ingin menunjukkan pada ayah dan kak Dimas. Semua tersenyum melihat peri kecil itu...
            Pukul 08.00 pagi udara masih sangat segar. Di pinggir jalan banyak pohon-pohon yang menjulang tinggi. Perjalanan menuju kota Bandung memang sangat menyenangkan. Hari ini awan tidak akan menjatuhkan hujan karena terlihat sangat cerah. Semua menikmati perjalanan hingga sampai di sebuah jalan yang sepi langit begitu mendung, awan-awan berubah menjadi hitam dan suara gemuruh langit kian menghiasi suasana pagi ini.
            Petir juga tidak mau kalah dengan suara gemuruh langit. Dengan kecepatan yang susah untuk dihitung petir-petir itu menari-nari di langit dengan warna-warna yang menakutkan. Andini memeluk bunda. “Andini takut bunda”. Bibirnya bergumam. Bunda tau Andini pasti ketakutan. Bunda memeluk Andini dengan erat.
            Tak berapa lama, hujan pun turun dengan deras hingga membasahi seluruh jalan. Ayah tetap pokus sementara bunda merasa gelisah karena jalan terlihat sangat licin.
            “Mas, apa tidak sebaiknya kita mencari tempat berteduh dulu?”
            “Untuk apa sayang. Aku sudah biasa dengan jalan licin dan tikungan seperti ini.”
            Mobil mereka terus melaju kencang. Di jalan tidak ada mobil lain selain mobl mereka. Jalanan sangat sepi hingga ayah berani untuk menambah kecepatan mobilnya. Namun di persimpangan jalan, sebuah truk pengangkut kayu juga melaju dengan cepat. Ayah mencoba menghindar dari truk tersebut. Semua yanng berada di dalam mobil teriak ketakutan dengan adegan itu kecuali Andini. Andini tidak bisa melakukannya. Dia hanya diam dalam pelukan bunda. Andini tidak berani melihat ke depan menyaksikan itu semua. Akhirnya mobil yang mereka naiki lolos dari truk tersebut. Namun, Ayah lupa akan jalur yang seharusnya diambil sehingga mobil mereka masuk kedalam jalur yang salah. Mobil terus melaju hingga memasuki jurang yang tajam. Bunda teriak histeris hingga membuat Andini bangkit dan goncangan dasyat pada mobil membuat Andini harus terlepas dari pelukan bunda.
            Andini ingin berteriak sekuat tenaga namun ia tidak bisa. Andini hanya bisa bergumam. Andini menangis dengan deras melihat ayah yang terluka di bagian kepalanya. Kak Dimas tersungkur ke depan. Wajahnya berlumuran darah karena terkena percikan kaca mobil. Ayah dan kak Dimas tidak sadarkan diri. Andini tidak tau apakah mereka masih hidup atau tidak. Andini terus menangis. Lalu bunda,,, dimana bunda. Andini mencoba menggerakkan tangannya yang terasa begitu sakit ingin menggamah pundak ayah. Andini ingin menanyakan dimana bunda. Namun tangannya yang mungil itu tak mampu melakukannya.                     
            “Ya Allah dimana bunda. Andai aku bisa berbicara, pasti bunda akan mendengar teriakanku.”
--oOo--
            Hujan turun semakin deras. Bunda menghampiri Andini yang tertidur lalu terjatuh dari meja belajarnya. Andini terbangun dan langsung memeluk bunda. Keringat bercucuran membasahi wajah polosnya. “Bunda jangan pergi tinggalkan Andini. Andini takut bun.”

Selamat Membaca !!!

                                                                                                 Terbit di Kaltim Post 11 Januari 2015




Tidak ada komentar:

Posting Komentar