Sebatas Bunga Tidur
Andini masih berkutat di meja belajarnya. Dia tidak sabar menunggu
hari esok untuk pergi berlibur ke rumah nenek bersama kak Dimas, ayah dan
bunda. Nenek telah berjanji kepadanya, kalau liburan kali ini Andini berkunjung
ke Bandung, nenek akan mengajaknya jalan-jalan ke Kebun teh bahkan ikut memanen
daun teh bersama teh Rini dan teh Ina. Tentu saja Andini sangat gembira
mendapat ajakan seperti itu. Andini benar-benar tidak sabar menunggu esok hari.
Jam sudah menunjukkan pukul 10.00 malam namun mata Andini masih
enggan untuk terlelap. Tangannya yang mungil masih sibuk memberikan coretan
halus pada selembar kertas berukuran A4. Andini mencoba meluapkan rasa
senangnya lewat tulisan walaupun hanya dia yang tahu apa sebetulnya yang dia tulis.
Pagi ini cuaca sangat bersahabat dengan mereka. Langit nampak cerah
dan kabut-kabut masih menempel pada dedaunan. Burung-burung bernyanyi riang.
Andini sudah siap dengan tas ranselnya berwarna ungu muda. Ayah masih
memanaskan mobil, kak Dimas sedang sibuk mengangkut barang-barang yang akan
dibawa ke rumah nenek, sedangkan bunda sibuk di dapur menyiapkan sarapan.
Aromanya tercium dari kamar Andini sehingga membuatnya melangkan
kaki menuju dapur. Andini langsung menghampiri meja makan dan menyambar roti bakar
yang dibuat bunda. Rambutnya yang ikal gelombang bergantung lucu. Bunda hanya
tersenyum melihat rambut putri kesayangnya itu.
“Sayang, habis sarapan rambutnya bunda ikat ya.”
Andini mengangguk tanda setuju. Kini meja makan tidak hanya ada
Andini namun juga ada ayah dan kak Dimas.
Semua telah sarapan dan siap untuk berangkat ke Bandung. Ayah sudah
siap mengendalikan mobilnya dengan gaya sesantai mungkin. Begitu pula dengan
kak Dimas siap dengan ransel hitamnya dan penampilan ala BoyBand Korea. Kini saatnya
Andini dan bunda untuk keluar menunjukkan penampilan mereka. Bunda terlihat
cantik dan sangat santai memakai gamis biru muda yang di padukan dengan
kerudung pink. Andini tak kalah heboh. Tangan mungilnya memegang rambut yang
baru saja dikepang dua oleh bunda dan dia ingin menunjukkan pada ayah dan kak
Dimas. Semua tersenyum melihat peri kecil itu...
Pukul 08.00 pagi
udara masih sangat segar. Di pinggir jalan banyak pohon-pohon yang menjulang
tinggi. Perjalanan menuju kota Bandung memang sangat menyenangkan. Hari ini
awan tidak akan menjatuhkan hujan karena terlihat sangat cerah. Semua menikmati
perjalanan hingga sampai di sebuah jalan yang sepi langit begitu mendung,
awan-awan berubah menjadi hitam dan suara gemuruh langit kian menghiasi suasana
pagi ini.
Petir juga tidak
mau kalah dengan suara gemuruh langit. Dengan kecepatan yang susah untuk
dihitung petir-petir itu menari-nari di langit dengan warna-warna yang
menakutkan. Andini memeluk bunda. “Andini takut bunda”. Bibirnya bergumam.
Bunda tau Andini pasti ketakutan. Bunda memeluk Andini dengan erat.
Tak berapa lama,
hujan pun turun dengan deras hingga membasahi seluruh jalan. Ayah tetap pokus
sementara bunda merasa gelisah karena jalan terlihat sangat licin.
“Mas, apa tidak
sebaiknya kita mencari tempat berteduh dulu?”
“Untuk apa sayang.
Aku sudah biasa dengan jalan licin dan tikungan seperti ini.”
Mobil mereka terus
melaju kencang. Di jalan tidak ada mobil lain selain mobl mereka. Jalanan
sangat sepi hingga ayah berani untuk menambah kecepatan mobilnya. Namun di
persimpangan jalan, sebuah truk pengangkut kayu juga melaju dengan cepat. Ayah
mencoba menghindar dari truk tersebut. Semua yanng berada di dalam mobil teriak
ketakutan dengan adegan itu kecuali Andini. Andini tidak bisa melakukannya. Dia
hanya diam dalam pelukan bunda. Andini tidak berani melihat ke depan
menyaksikan itu semua. Akhirnya mobil yang mereka naiki lolos dari truk
tersebut. Namun, Ayah lupa akan jalur yang seharusnya diambil sehingga mobil
mereka masuk kedalam jalur yang salah. Mobil terus melaju hingga memasuki
jurang yang tajam. Bunda teriak histeris hingga membuat Andini bangkit dan
goncangan dasyat pada mobil membuat Andini harus terlepas dari pelukan bunda.
Andini ingin
berteriak sekuat tenaga namun ia tidak bisa. Andini hanya bisa bergumam. Andini
menangis dengan deras melihat ayah yang terluka di bagian kepalanya. Kak Dimas
tersungkur ke depan. Wajahnya berlumuran darah karena terkena percikan kaca
mobil. Ayah dan kak Dimas tidak sadarkan diri. Andini tidak tau apakah mereka
masih hidup atau tidak. Andini terus menangis. Lalu bunda,,, dimana bunda.
Andini mencoba menggerakkan tangannya yang terasa begitu sakit ingin menggamah
pundak ayah. Andini ingin menanyakan dimana bunda. Namun tangannya yang mungil
itu tak mampu melakukannya.
“Ya Allah dimana
bunda. Andai aku bisa berbicara, pasti bunda akan mendengar teriakanku.”
--oOo--
Hujan turun
semakin deras. Bunda menghampiri Andini yang tertidur lalu terjatuh dari meja
belajarnya. Andini terbangun dan langsung memeluk bunda. Keringat bercucuran
membasahi wajah polosnya. “Bunda jangan pergi tinggalkan Andini. Andini takut
bun.”
Selamat Membaca !!!
Terbit di Kaltim Post 11 Januari 2015
Terbit di Kaltim Post 11 Januari 2015
Tidak ada komentar:
Posting Komentar