Kamis, 16 Januari 2014


Aku Noni
Keadaan diluar sana sangat cerah. Awan-awan putih bertaburan menghiasi langit biru. Kendaraan berlalu lalang ke hilir dan ke hulu. Orang-orang juga sibuk dengan aktivitasnya masing-masing. Sedangkan aku hanya bisa terdiam di sini. Lebih tepatnya mematung di dalam lemari kaca yang begitu indah namun aku merasa tidak betah berada di sini. Aku ingin sekali merasakan suasana di luar sana. Berlari seperti anak-anak kecil yang selalu melompat-lompat indah setiap ada lubang kecil yang ia lewati. Namun, mungkinkah itu terjadi???
Dari kejauhan, aku melihat seorang wanita muda berperawakan tinggi, menggunakan baju gamis biru muda dan jilbab merah muda. Wanita muda itu nampak sibuk menggiring anak kecil untuk masuk ke dalam toko. Anak kecil yang dibawanya itu meronta-ronta ingin minta lepas. Namun, sang Bunda tetap membawanya masuk.
“Es krim...es krim...Umi...” Anak itu terus merengek.
“Salma tidak boleh beli es krim. Nanti sakit sayang.”
Di dalam ruangan, seorang gadis berbaju kaos dan rok hitam selutut menyapa mereka.
“Selamat pagi Bu, ada yang bisa saya bantu?” sapanya dengan ramah.
“Boleh saya lihat-lihat dulu mbak?”
“Oh tentu.”
Umi Salma sibuk mondar-mandir melihat lihat isi ruagan. Tangannya dengan lembut menuntut Salma nama gadis kecil itu untuk ikut melihat-lihat. Aku berharap Salma bisa melihatku berdiri di sini. Aku yakin Salma akan melihatku dengan matanya yang bundar dan sangat indah itu. Aku ingin memnaggilnya. Namun, dia tidak mungkin bisa mendengar suaraku yang tertutupi lemari kaca ini.
Jari-jari mungil itu meraba-raba kaca. Matanya yang indah akhirnya menatapku dengan penuh cinta. Bibir mungil itu ikut bergetar ketika berbicara. Bidadari kecil yang lucu. Aku berharap dia bisa membawaku pergi dari tempat yang membosankan ini.
“Umi...”
“Iya sayang. Kenapa?
“Salma suka dia. Salma ingin dia.” Tangan mungil itu menunjuk ke arahku. Betapa gembiranya aku. Apakah ini bertanda bahwa penderitaanku di dalam sini akan berakhir, Setelah bertahun-tahun aku di sini, baru kali ini ada yang ingin membawaku pergi. Padahal aku telah begitu lusuh dibandingkan dengan yang lainnya.
“Yang mana Sayang?”
“Yang itu Umi. Besar. Manis.”
Gadis berbaju kaos dan memakai rok hitam yang sedari tadi berdiri mengamati Salma mencoba menghampiri Umi Salma.
“Permisi Bu, apakah anak Ibu menginginkan yang itu?” Gadis itu menunujuk ke arahku.
“Iya, Tapi itu begitu lusuh. Apakah itu sudah bekas?”
“Oh tidak Bu Di sini tidak ada yang bekas, Hanya saja yang di minati anak ibu itu merupakan yang paling lama berada di sini sehingga nampak lusuh.
“Oh begitu ya, Tapi anak saya ingin yang itu/ Tolong di bungkuskan ya,”
“Baiklah. Karna boneka itu termasuk yang lama, kami memberikan harga khusus buat ibu. Discont 50%.
Gadis itu bergegas mengambilku dan membungkusku. Lalu menyerahkan bungkusan kepada Umi Salma.
“Ini Bu, Dan terima kasih atas kunjungannya.”
“Oh terima kasih Mbak.”
-oOo-
Hatiku bersorak ria. Aku sangat bahagia. Hari ini aku memulai hidup baru dengan keluarga Salma. Aku yakin Salma sangat sayang padaku sejak pertama kali kami bertemu. Salma memanggil namaku Noni. Aku merasa di rumah Salma sangat berbeda dengan tempat di mana aku tinggal sebelumnya. Aku bisa ikut menghirup udara segar di pagi hari, Aku bisa berlari-lari di halaman rumah dengan Salma. Bahkan aku bisa makan bersama dengan keluarga Salma.
Hari ini Salma mengajakku pergi ke Kebun Binatang. Dia ingin menunjukkan padaku ada binatang yang katanya sangat mirip denganku. Tapi sayang, Abinya tidak bisa ikut bersama kami karna ada kerjaan yang harus diselesaikan. Tapi tak mengapa, Umi bersedia mengantarkan kami melihat-lihat alam yang begitu indah di Kebun Binatang.
Sepeda Motor beat telah dipanaskan di halaman rumah. Salma sibuk mencari-cari baju yang pas untukku. Walaupun aku tidak membutuhkan baju itu, namun aku tidak ingin melihat mata indah itu kecewa. Aku tetap memakai baju pilihan Salam. Ya baju berwarna pink. Aku tertawa geli ketika Salma menghadakanku ke arah kaca dan memutar-mutar badanku.
“Salma sayang, ayo ke sini, Hari sudah semakin panas,”
“Iya Umi.” Salma membawaku keluar sambil berlari.
-oOo-
Langit begitu cerah. Awan-awan putih ikut berjalan riang mengiringi perjalan kami. Salma bernyanyi-nyai riang dan tertawa lucu hingga gigi putih susunya terlihat berbaris rapi. Umi dengan lincah mengendarai sepeda motor.
“Lebih kencang umi...”Salma berteriak-teriak di tengah jalan. Orang-orang di sekitar kami tersenyum mendengar suara lucunya. Sepeda motor tetap meluncur dengan tenang hingga kami memasuki jalan yang mulai padat. Tiba-tiba saja, langit yang tadi cerah kini begitu mendung. Suara petir memecah segala rasa keceriaan Salma.
Tak lama hujanpun turun dengan deras. Baju kami basah. Salma nampak kedinginan. Aku juga merasa kedinginan. Semakin basah tubuhku terasa semakin berat. Salma tetap memelukku dan sebelah tangannya berpegang teguh di pinggang Umi.
Suara klakson sepeda motor dan mobil terdengar nyaring di telinga. Jalan begitu padat dan semakin padat saat sepeda motor kami sampai di persimpangan jalan. Ya tepat di lampu merah simpang Lembuswana kota ini. Air hujan berhasil mendatangkan banjir. Banyak angkot dan kendaraan yang lainnya mogok di tengah jalan. Tapi, Umi tetap mempertahankan gassan sepeda motor agat tidak ikut macet.
Saat umi terlihat lelah menahannsepeda motor karena derasnya aliran air banjir, mulutnya terus berkomat kamit meminta agar Salma tetap memegang tubuhnya dengan erat. Tangan mungil itu mengikuti apa yang Uminya katakan. Hingga tangannya tak bisa lagi menggenggam erat tanganku. Tubuhku terasa semakin berat. Aku juga tidak bisa menggapai tangan ungil itu hingga akhirnya aku terjatuh. Salma tidak menyadari bahwa aku telah tidak bersamanya lagi. Kini aku pergi bersama aliran air banjir. Aku bahagia bisa bersama Salma untuk beberapa waktu. Aku bahagia bisa terlepas dari lemari kaca yang aku tempati bertahun-tahun hingga kini, aku benar-benar terbebas. Terima kasih Salma. Semoga kamu mendapatkan boneka yang lebih manis dariku. Aku hanya boneka lusuh yang tak pantas hidup bersamamu. Aku akan selamanya menjadi lusuh dan bertambah lusuh dengan timbunan lumpur saat airnya surut nanti. Selamat tinggal Salma untuk selamanya....






Sebatas Bunga Tidur
Andini masih berkutat di meja belajarnya. Dia tidak sabar menunggu hari esok untuk pergi berlibur ke rumah nenek bersama kak Dimas, ayah dan bunda. Nenek telah berjanji kepadanya, kalau liburan kali ini Andini berkunjung ke Bandung, nenek akan mengajaknya jalan-jalan ke Kebun teh bahkan ikut memanen daun teh bersama teh Rini dan teh Ina. Tentu saja Andini sangat gembira mendapat ajakan seperti itu. Andini benar-benar tidak sabar menunggu esok hari.
Jam sudah menunjukkan pukul 10.00 malam namun mata Andini masih enggan untuk terlelap. Tangannya yang mungil masih sibuk memberikan coretan halus pada selembar kertas berukuran A4. Andini mencoba meluapkan rasa senangnya lewat tulisan walaupun hanya dia yang tahu apa sebetulnya yang dia tulis.
Pagi ini cuaca sangat bersahabat dengan mereka. Langit nampak cerah dan kabut-kabut masih menempel pada dedaunan. Burung-burung bernyanyi riang. Andini sudah siap dengan tas ranselnya berwarna ungu muda. Ayah masih memanaskan mobil, kak Dimas sedang sibuk mengangkut barang-barang yang akan dibawa ke rumah nenek, sedangkan bunda sibuk di dapur menyiapkan sarapan.
Aromanya tercium dari kamar Andini sehingga membuatnya melangkan kaki menuju dapur. Andini langsung menghampiri meja makan dan menyambar roti bakar yang dibuat bunda. Rambutnya yang ikal gelombang bergantung lucu. Bunda hanya tersenyum melihat rambut putri kesayangnya itu.
“Sayang, habis sarapan rambutnya bunda ikat ya.”
Andini mengangguk tanda setuju. Kini meja makan tidak hanya ada Andini namun juga ada ayah dan kak Dimas.
Semua telah sarapan dan siap untuk berangkat ke Bandung. Ayah sudah siap mengendalikan mobilnya dengan gaya sesantai mungkin. Begitu pula dengan kak Dimas siap dengan ransel hitamnya dan penampilan ala BoyBand Korea. Kini saatnya Andini dan bunda untuk keluar menunjukkan penampilan mereka. Bunda terlihat cantik dan sangat santai memakai gamis biru muda yang di padukan dengan kerudung pink. Andini tak kalah heboh. Tangan mungilnya memegang rambut yang baru saja dikepang dua oleh bunda dan dia ingin menunjukkan pada ayah dan kak Dimas. Semua tersenyum melihat peri kecil itu...
            Pukul 08.00 pagi udara masih sangat segar. Di pinggir jalan banyak pohon-pohon yang menjulang tinggi. Perjalanan menuju kota Bandung memang sangat menyenangkan. Hari ini awan tidak akan menjatuhkan hujan karena terlihat sangat cerah. Semua menikmati perjalanan hingga sampai di sebuah jalan yang sepi langit begitu mendung, awan-awan berubah menjadi hitam dan suara gemuruh langit kian menghiasi suasana pagi ini.
            Petir juga tidak mau kalah dengan suara gemuruh langit. Dengan kecepatan yang susah untuk dihitung petir-petir itu menari-nari di langit dengan warna-warna yang menakutkan. Andini memeluk bunda. “Andini takut bunda”. Bibirnya bergumam. Bunda tau Andini pasti ketakutan. Bunda memeluk Andini dengan erat.
            Tak berapa lama, hujan pun turun dengan deras hingga membasahi seluruh jalan. Ayah tetap pokus sementara bunda merasa gelisah karena jalan terlihat sangat licin.
            “Mas, apa tidak sebaiknya kita mencari tempat berteduh dulu?”
            “Untuk apa sayang. Aku sudah biasa dengan jalan licin dan tikungan seperti ini.”
            Mobil mereka terus melaju kencang. Di jalan tidak ada mobil lain selain mobl mereka. Jalanan sangat sepi hingga ayah berani untuk menambah kecepatan mobilnya. Namun di persimpangan jalan, sebuah truk pengangkut kayu juga melaju dengan cepat. Ayah mencoba menghindar dari truk tersebut. Semua yanng berada di dalam mobil teriak ketakutan dengan adegan itu kecuali Andini. Andini tidak bisa melakukannya. Dia hanya diam dalam pelukan bunda. Andini tidak berani melihat ke depan menyaksikan itu semua. Akhirnya mobil yang mereka naiki lolos dari truk tersebut. Namun, Ayah lupa akan jalur yang seharusnya diambil sehingga mobil mereka masuk kedalam jalur yang salah. Mobil terus melaju hingga memasuki jurang yang tajam. Bunda teriak histeris hingga membuat Andini bangkit dan goncangan dasyat pada mobil membuat Andini harus terlepas dari pelukan bunda.
            Andini ingin berteriak sekuat tenaga namun ia tidak bisa. Andini hanya bisa bergumam. Andini menangis dengan deras melihat ayah yang terluka di bagian kepalanya. Kak Dimas tersungkur ke depan. Wajahnya berlumuran darah karena terkena percikan kaca mobil. Ayah dan kak Dimas tidak sadarkan diri. Andini tidak tau apakah mereka masih hidup atau tidak. Andini terus menangis. Lalu bunda,,, dimana bunda. Andini mencoba menggerakkan tangannya yang terasa begitu sakit ingin menggamah pundak ayah. Andini ingin menanyakan dimana bunda. Namun tangannya yang mungil itu tak mampu melakukannya.                     
            “Ya Allah dimana bunda. Andai aku bisa berbicara, pasti bunda akan mendengar teriakanku.”
--oOo--
            Hujan turun semakin deras. Bunda menghampiri Andini yang tertidur lalu terjatuh dari meja belajarnya. Andini terbangun dan langsung memeluk bunda. Keringat bercucuran membasahi wajah polosnya. “Bunda jangan pergi tinggalkan Andini. Andini takut bun.”

Selamat Membaca !!!

                                                                                                 Terbit di Kaltim Post 11 Januari 2015